Catatan Kelompok Tani : Kabar Tani Lestari
Dr Rachmat MMAgr |
Dari sini muncul demand/permintaan dan produsen yang tidak seimbang, sehingga harga produk (pupuk kimia/anorganik) menjadi mahal. Kemudian bahan pupuk anorganik yang sebagian besar produk impor, biaya impor makin lama semakin mahal.
Petani Indonesia sangat tergantung dengan pupuk kimia (anorganik), walaupun biàya tinggi dan merusak lahan pertanian secara lambat laun, dan mengabaikan perhitungan ekonomi. Harus diakui, produsen maupun konsumen kurang memahami kualitas produk pertanian organik, sehingga para petani sulit untuk beralih ke pertanian organik yang rendah biaya dan kualitas baik erta sehat, dan pertanian organik tidak merusak lingkungan pertanian.
Petani Indonesia mayoritas tolak ukur keberhasilan pertanian diukur dari besaran pupuk dan obat pertanian yang digunakan (pupuk kimia dan obat-obatan komia), bukan dari hasil atau margin keuntungan, sehingga petani berlomba-lomba mencari pupuk kimia, tidak menghitung untung ruginya.
Pola pikir petani sudah terpaku dengan pupuk kimia, enggan beralih ke pupuk organik, sebagai bahan substitusi yang bisa menekan biaya produksi. Dan bagi pemerintah khususnya pasar, tidak mau meningkatkan/membedakan harga secara signifikan, antara produk pertanian organik dengan anorganik.
Hal-hal demikian yang membuat harga pupuk anorganik mahal dan menjadikan kelangkaan pupuk anorganik (kimia) di pasaran. Petani biasanya menyalahkan pemerintah, yang sebenarnya juga kesalahan dari diri sendiri para petani namun kurang menyadari. (*)
penulis : Dr Rachmat (Ketua Kabar Tani Lestari)
editor : tomo widodo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar