oleh : Yudi Latif PhD
Setelah mengembara ribuan mil, kura-kura dan burung pulang ke tempat asal kelahiran untuk bertelur atau menjalin perkawinan. Dengan kapasitas otak lebih mumpuni, pengertian pulang ke rumah bagi manusia tak mesti kembali ke asal yang sama di muka bumi. Rumah bisa tempat di mana pun yang terbayang dan terasakan sebagai wahana manusia menemukan kasih sayang, kesejatian, kenyamanan, perlindungan dan kerinduan.
Demikianlah, Natal dan tahun baru adalah ritus peralihan sebagai bantalan kelahiran kembali dengan menarik manusia ke “titik keberangkatan dan kepulangan”, tempat memulihkan keriangan, cinta kasih, semangat berbagi dan persatuan keluarga. Kebahagiaan hidup bersama dimulai dengan menyalakan cahaya cinta. Memulihkan cahaya cinta memancarkan keindahan dalam diri. Jika ada keindahan dalam diri, ada harmoni dalam rumah. Jika ada harmoni dalam rumah, ada ketertiban dalam kehidupan bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa, ada kedamaian di dunia.
Sebaik-baik rumah, seperti diingatkan dalam Bible, ialah rumah yang dibangun dengan kebijaksanaan, ditegakkan dengan pengertian, yang setiap kamarnya diisi pengetahuan dengan segala kekayaan keriangan dan kemuliaan. Rumah kebajikan yang pintunya senantiasa terbuka penuh cinta bagi yang lain.
Sebaik-baik Natal adalah Natal yang semangatnya diperlebar.
Natal tidaklah jadi natal tanpa suatu hadiah. Dan tiada hadiah yang
lebih berharga daripada cinta.
Ia adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, semen bagi
retakan dan asa bagi kebuntuan.
Saat langit mendung dikepung awan curiga, tenunan sosial robek dicincang
belati kebencian, kesenjangan meluas dipacu keserakahan, semangat
kelahiran dan kehangatan Natal seyogianya tak sekadar ritual musiman
bagi sesama penganut, melainkan merembesi setiap relung ruang dan waktu.
Setiap hari adalah natal, setiap ruang adalah rumah kasih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar