Ketua MPR Bambang Soesatyo |
JAKARTA
- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan MPR RI melalui Badan
Pengkajian merekomendasikan naskah visi misi calon Gubernur/Bupati
Walikota yang terpilih dalam Pilkada Serentak 9 Desember 2020 menjadi
bagian tak terpisahkan dari visi misi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. Sebagai arah bagi
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang
merupakan satu kesatuan dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
"Integrasi
visi misi tersebut penting untuk menjamin kesinambungan antara
pembangunan nasional dengan daerah. Dengan demikian, konsep pemajuan
daerah adalah bagian dari konsep pemajuan nasional. Pembangunan daerah
dilaksanakan seiring sejalan dengan pembangunan nasional, dan merujuk
pada satu visi besar bersama, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera," ujar Bamsoet saat mengisi Webinar Pilkada,
Kepemimpinan Daerah, dan Pemajuan Daerah yang diadakan Persatuan
Masyarakat Nias Barat Indonesia secara virtual, di Jakarta, Minggu
(18/10/2020).
Ketua
DPR RI ke-20 ini menjelaskan, narasi ideal yang ingin dibangun melalui
penyelenggaraan pilkada serentak di masa pandemi adalah untuk melahirkan
pemimpin daerah berkualitas. Dimana mampu memutus mata rantai
penyebaran Covid-19 melalui serangkaian kebijakan yang diambilnya,
sehingga bisa mendorong terwujudnya pembangunan dan kemajuan daerah.
"Maka
untuk merealisasikannya, penyelenggaraan Pilkada harus berkualitas. Ada
beberapa tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan. Diantaranya
kompetensi, netralitas, dan akuntabilitas penyelenggara pilkada,
minimnya pelanggaran dan kecurangan, tingkat partisipasi publik yang
tinggi, serta penyelesaian sengketa pilkada yang transparan dan adil,"
jelas Bamsoet.
Dia
memaparkan data Nagara Institute, yang pada hasil Pilkada tahun 2015,
2017, dan 2018, mencatat dari seluruh kepala daerah yang bermasalah,
ternyata sebagian besar bukan berasal dari kader partai politik.
Tercatat setidaknya ada 56 kepala daerah non kader partai politik, baik
gubernur, bupati dan walikota, yang telah mendapatkan putusan tetap dari
pengadilan.
"Data
tersebut pada satu sisi menggugurkan anggapan bahwa kandidat dari kader
partai politik identik dengan masalah hukum. Di sisi lain juga
menunjukkan bahwa partai politik harus membenahi pola rekrutmen dan
kaderisasi. Sehingga ke depan, siapapun yang maju dalam kontestasi
pemilihan, telah memiliki keterikatan emosional dengan partai politik.
Dan, ketika terpilih memegang amanah sebagai pemimpin, kandidat tak
melupakan ideologi dan perjuangan partai yang bermuara pada
kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi ataupun golongan,"
papar Bamsoet.
Kepala
Badan Bela Negara FKPPI ini memperingatkan, masih tingginya angka
persebaran Covid-19 juga harus menjadi perhatian serius dalam
penyelenggaraan Pilkada Serentak. Berdasarkan data KPU per 15 Oktober
2020, dari 3.398 kegiatan kampanye yang telah dilaksanakan, sebanyak
3.259 di antaranya (96 persen) dilakukan melalui kegiatan tatap muka.
Hanya 4 persen yang dilakukan secara daring.
"Kondisi
ini harus menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan, khususnya
para kandidat yang maju dalam pemilihan agar disiplin dalam penerapan
protokol kesehatan, demi menghindari potensi munculnya klaster baru
persebaran Covid-19 pada Pilkada Serentak. Kandidat juga harus merubah
pola kampannye dengan memperbesar kampanye daring (virtual)," tegas
Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum SOKSI ini menilai, meskipun KPU dan segenap pemangku
kepentingan telah melakukan segala daya dan upaya demi terselenggaranya
Pilkada Serentak yang baik dan aman, namun tidak dapat dipungkiri
kebijakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi masih menyisakan
beberapa potensi persoalan. Misalnya dari tingkat partisipasi pemilih,
kedisiplinan penerapan protokol kesehatan, status zona merah di beberapa
daerah penyelenggara Pilkada, keterbatasan dukungan sumber daya, hingga
kesenjangan literasi teknologi.
"Berbagai
persoalan di atas sangat mungkin terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada
di masa pandemi, di samping beberapa persoalan klise lainnya yang
menyertai pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Misalnya persoalan data
pemilih, logistik, konflik antar pendukung calon, politik uang, dan
lain-lain. Kontestasi politik di tengah himpitan kondisi perekonomian di
masa pandemi, ditambah faktor heterogenitas dan kemajemukan bangsa,
akan sangat mudah dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab
untuk memantik lahirnya konflik horisontal," pungkas Bamsoet. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar