"Contohnya Pemilu atau pilkada.
Sudah waktunya Indonesia mengembangkan digitalisasi dalam pelaksanaan Pemilu
atau pilkada. Dalam tahap awal bisa dimulai dari Pilkada hingga berjenjang
sampai ke Pilpres. Sehingga jika kelak pandemi dalam bentuk lainnya kembali menimpa
Indonesia, tak sampai membuat kehidupan demokrasi, khususnya hak pilih rakyat
terganggu. Digitalisasi pemungutan suara melalui barcode menjadi sebuah
keniscayaan. Selain menghemat anggaran kotak suara, bilik suara, kerta dan
tinta yang jumlahnya triliunan juga efektif/ tidak perlu menunggu lama
perhitungan suara yang sangat memakan biaya dan energi. Cukup dalam hitungan
menit sudah tahu hasilnya," ujar Bamsoet saat mengisi diskusi bersama
Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad di Press Room MPR RI, Jakarta, Senin (6/7/2020).Mantan Ketua DPR RI ini menekankan, walaupun tak bisa dilakukan dalam waktu
dekat, minimal pengembangan digitalisasi Pemilu sudah dimulai sejak sekarang.
Sehingga di masa depan Indonesia bukan semata menjadi negara demokrasi terbesar
dunia, melainkan juga menjadi negara demokrasi yang inovatif.
"Akibat pandemi Covid-19,
Indonesia dan berbagai negara lainnya terpaksa menunda tahapan Pemilu. Inggris
Raya menunda pemilihan lokal yang seharusnya dilakukan pada Mei 2020, Italia
menunda referendum pengurangan anggota parlemen 29 Maret 2020, Bolivia menunda
pemilihan presiden 3 Mei 2020, serta Indonesia menunda pemilihan
walikota/bupati 23 September 2020 menjadi awal Desember 2020. Padahal
sebelumnya, bencana alam, kerusuhan, maupun peristiwa lainnya tak pernah sampai
mengganggu tahapan Pemilu di berbagai negara. Pandemi yang membuat tahapan
Pemilu terhenti," tandas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini
menambahkan, tak hanya menguji penyelenggaraan Pemilu, pandemi Covid-19 juga
menguji kualitas kepemimpinan para pengambil kebijakan di berbagai negara
dunia. Tercatat sudah 215 negara terinfeksi Covid-19. Ada pemimpin yang
berhasil, ada yang masih berjuang, dan ada yang menjadi bulan-bulanan
rakyatnya.
Kanselir Jerman Angela Merkel,
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardem, Perdana Menteri Denmark Mette
Frederiksen, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen, dan Perdana Menteri Islandia Katrin
Jakobsdottir, adalah contoh pemimpin yang dinilai berhasil mengendalikan
penyebaran Covid-19. Sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden
Brazil Jail Bolsonaro dan Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador malah
menjadi bulan-bulanan masing-masing rakyatnya.
"Sedangkan Presiden Joko Widodo
bersama pemimpin Asia lainnya masih terus berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Hasilnya sejauh ini cukup memuaskan, dengan semakin tingginya cakupan test swab
per hari mencapai 10.000 spesimen, kini sedang ditingkatkan hingga mencapai
30.000 spesimen per hari," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, tak hanya kepemimpinan di tingkat nasional, pemimpin yang bertugas sebagai pengambil kebijakan di tingkat menteri juga mendapat banyak sorotan lantaran penanganan pandemi Covid-19. Menteri Kesehatan Ekuador Catalina Andramuno Zeballos, misalnya, memilih mengundurkan diri tatkala jumlah positif Covid-19 di negaranya mencapai 500 orang pada 21 Maret 2020.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, tak hanya kepemimpinan di tingkat nasional, pemimpin yang bertugas sebagai pengambil kebijakan di tingkat menteri juga mendapat banyak sorotan lantaran penanganan pandemi Covid-19. Menteri Kesehatan Ekuador Catalina Andramuno Zeballos, misalnya, memilih mengundurkan diri tatkala jumlah positif Covid-19 di negaranya mencapai 500 orang pada 21 Maret 2020.
"Karena dinilai berhasil
mengendalikan penyebaran Covid-19 di Tokyo, Yuriko Koike hari ini terpilih
kembali menjadi Gubernur Tokyo. Ia menjadi wanita pertama yang memimpin Tokyo
selama dua periode. Hal ini menunjukan, pandemi Covid-19 tak hanya sekadar
menguji kualitas kepemimpinan di tingkat nasional negara, melainkan juga di
tingkat lokal," pungkas Bamsoet. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar