"Prestasi MA tersebut patut diacungkan jempol. Di tahun 2019 MA berhasil menyelesaikan puluhan ribu perkara yang masuk. Dan, dalam sejarah MA berdiri, baru kali ini jumlah perkara yang mangkrak bisa ditekan serendah ini. Tidak salah bila lembaga peradilan lain belajar dari MA," ujar Bamsoet saat menghadiri Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2019, di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Hadir dalam acara ini antara lain Presiden RI Joko Widodo, Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Menko Polhukam Mahfud MD, Menkum HAM Yasonna Laoly, Seskab Pramono Anung, Ketua De
was KPK Tumpak Panggabean, Jaksa Agung ST Burhanuddin serta para hakim agung.
Mantan Ketua DPR RI 2014-2019 ini juga mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang terus melakukan pembenahan. Khususnya dalam mewujudkan E-Court, yang memanfaatkan teknologi informasi dalam modernisasi sistem peradilan.
"E-Court yang berbasis pada e-Filing (pendaftaran perkara online di pengadilan), e-Payment (pembayaran panjar biaya perkara online), e-Summons (pemanggilan pihak secara online), dan e-Litigation (persidangan secara online), membuat sistem peradilan di Indonesia semakin modern. Sekaligus mempercepat akses informasi, kecepatan dan ketepatan penanganan perkara, serta menghindari potensi korup aparatur peradilan," jelas Bamsoet.
Namun, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini mengingatkan Mahkamah Agung jangan lantas cepat berpuas diri. Masih banyak yang perlu ditingkatkan lagi dalam sistem peradilan di Indonesia. Antara lain menyangkut kemudahan akses informasi sistem peradilan, kecepatan sekaligus ketepatan penanganan perkara, serta masih adanya mental korup pada aparatur peradilan.
"Jangan sampai akibat lambannya pembenahan yang dilakukan Mahkamah Agung sebagai leading sector peradilan, membuat rakyat mencari keadilan di jalan. Karenanya Mahkamah Agung harus senantiasa berani melakukan otokritik, pembenahan, sekaligus tak imun jika dikritik berbagai pihak," kata Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menegaskan, sesuai konstitusi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Menandakan bahwa setiap aktivitas penyelenggara negara maupun warga negara, senantiasa berdasarkan koridor hukum. Bukan atas keinginan pribadi maupun golongan.
"Karenanya dalam negara hukum, hakim dan institusi peradilan ditempatkan sebagai 'wakil Tuhan' di bumi. Tanggungjawabnya dunia akhirat. Bukan semata kepada manusia, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehatnya dunia peradilan akan membuat harmonisnya kehidupan bangsa dan negara," tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini juga mengingatkan para hakim agar senantiasa bijak dalam memutuskan perkara. Disamping asas keadilan retributif yang menekankan pada pembalasan atau pemberian hukuman kepada pelanggar hukum, proses pencapaian keadilan juga mengenal restoratif justice (keadilan restoratif) berupa penyelesaian tindak pidana dengan mengenyampingkan proses pidana demi kepentingan Harkamtibmas dan kepentingan umum lainnya.
"Restorative justice bukanlah memberikan impunitas kepada korban. Melainkan sebaliknya, justru melindungi korban dan pelaku agar tak terjebak dalam labirin represif hukum. Sehingga hukuman yang diberikan bukan semata sebagai pembalasan, melainkan juga bagian dari pengajaran dan menciptakan solusi keselarasan hidup masyarakat," pungkas Bamsoet. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar