Karena itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mendorong institusi penegak hukum agar terus meningkatkan kapabilitas dan kompetensi memahami kejahatan korporasi. Mantan Ketua DPR RI dan Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini prihatin karena kejahatan korporasi yang diotaki oleh pimpinan manajemen kedua BUMN itu baru bisa diungkap belakangan ini. Juga sangat disayangkan karena pengungkapan kedua kasus dugaan korupsi itu bukan oleh inisiatif maupun kerja penegak hukum, melainkan oleh pemerintah.
Sayangnya, selama itu pula penegak hukum dan instrumen pengawas jasa keuangan tidak segera bertindak melakukan pencegahan atau penindakan. Jiwasraya, misalnya, telah membukukan laba semu sejak tahun 2006 dengan merekayasa akuntansi. Sejak 2015, Jiwasraya menjual produk tabungan dengan tingkat bunga sangat tinggi, di atas bunga deposito dan obligasi.
Hasil jualan produk tabungan itu diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana kualitas rendah yang mengakibatkan terjadinya negative spread. Per 2017, Jiwasraya lagi-lagi diketahui merekayasa laporan keuangan, yakni mengaku untung padahal rugi karena kekurangan pencadangan Rp 7,7 triliun.
Semua indikator yang menggambarkan ketidakwajaran ini pasti bertebaran di ruang publik dan menjadi bahan obrolan para manajer investasi. Misalnya, pertanyaan tentang mengapa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak segera bertindak?
Pergunjingan ini mestinya menjadi informasi berharga bagi penegak hukum untuk mencermati modus kejahatan korporasi itu. Sayang, informasi berharga tentang kejahatan korporasi itu tidak direspons sebagaimana seharusnya, baik oleh penegak hukum maupun instrumen pengawas seperti OJK.
Untuk mencegah berulangnya kejahatan serupa di kemudian hari, Ketua MPR mendorong semua institusi penegak hukum meningkatkan kapabilitas dan kompetensi memahami kejahatan korporasi.
Sebab, kalau kejahatan korporasi seperti ini tidak segera direspons pada waktunya oleh mekanisme pengawasan dan sistem hukum, bisa muncul kesan adanya pembiaran oleh penegak hukum dan instrumen pengawasan. Kalau kesan pembiaran itu muncul, hancurlah iklim investasi di Indonesia karena ambruknya kepercayaan investor, baik asing maupun lokal. (bamsoet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar