Neta S Pane (foto net) |
IPW saat ini melihat keresahan yang dalam di kalangan perwira Polri. Mereka merasakan slogan Promoter bukan lagi berarti Profesional, Modern dan Terpercaya. Tapi sudah menjadi Promosi Orang-orang Tertentu, yang dekat dengan kekuasaan. Memang, dalam menentukan posisi di Polri, sah-sah saja Jokowi memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. Sebab ini bagian dari privilese seorang Panglima Tertinggi.
Cara seperti ini tentunya merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo. Namun hendaknya dalam menggunakan privilise itu, Jokowi tidak merusak tatanan, hirarki, dan sistem karier yang sudah dibangun Polri sejak lama.
Lihat saja mantan Kapolresta Solo yang kariernya sangat moncer. Kapolda NTB Irjen Nana Sudjana lulusan Akpol 1988 yang lompat menjadi Kapolda Metro Jaya. Inilah pertama kali dalam sejarah Polri ada Kapolda dari luar Jawa yang langsung menjadi Kapolda Metro Jaya.
M Iriawan saja dari NTB ke Jabar dulu dan ke Propam, baru kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya. Lalu Listyo Sigit Prabowo, lulusan Akpol 1991 itu kini menjabat Kabareskrim Polri dengan pangkat Komjen. Selama ini perwira yang menjadi Kabareskrim adalah Irjen senior yang pernah menjabat Kapolda tipe A.
Yang paling spektakuler adalah Ahmad Lutfi usai menjabat Kapolresta Solo dan sukses mengawal pernikahan putri Jokowi, langsung mendapat promosi sebagai Wakapolda Jawa Tengah. Perwira non Akpol ini menjadi Wakapolda usai mengikuti pendidikan.
Biasanya usai mengikuti pendidikan, perwira Polri menjadi Anjak dulu atau menjabat posisi di Mabes Polri dengan pangkat tetap Kombes, baru kemudian mendapat promosi menjadi Brigjen.
Bandingkan dengan "Geng Solo" dari kalangan TNI yang kariernya tidak semoncer "Geng Solo" dari Polri. Dandim Surakarta saat Jokowi menjadi Walikota Solo, Widi Prasetijono misalnya, hingga kini masih berpangkat Brigjen. Lulusan Akmil 1991 itu masih menjabat Danrem 091/Aji Surya Natakesuma di Kaltim.
Begitu juga Bakti Agus Fadjari Akmil 1987 yang menjabat Danrem Solo saat Jokowi jadi Walikota Solo hingga kini masih menjabat Aster Kasad, dengan pangkat Mayjen. Di sepanjang tahun 2019 ini di Polri memang terlihat ada fenomena untuk merusak sistem karier yang sudah dibangun selama ini.
Hirarki, senioritas dan sistem urut kacang makin ditabrak-tabrak serta dihancurkan. Kapolda Papua Barat misalnya, tiba-tiba bisa jadi Assop Polri. Karorenmin Bareskrim bisa jadi Asrena. Jabatan Asisten sepertinya makin tak berharga dan tak bergengsi lagi. Dan tidak perlu diisi oleh perwira yang berpengalaman.
Padahal dulu diisi para jenderal senior yang sudah punya pengalaman malang melintang di organisasi kepolisian. Sepertinya organisasi Polri terlihat makin kacau dan semaunya. Hal ini terjadi akibat politik kepentingan elitnya dan bukan kepentingan organisasi kepolisian. Awalnya kasus-kasus perwira yang "melompat" dinilai hanya untuk menghindari tekanan politik. Sehingga dianggap tidak menjadi masalah bagi Polri, meski ada perwira yang "melompat" melewati empat angkatan.
Tapi belakangan fenomenanya makin kacau. Institusi Polri terlihat makin tidak taat hirarki. Proses karier tidak lagi harus urut kacang dan tidak harus mengikuti penggolongan senior yunior untuk jabatan tertentu yang strategis. Tapi lebih pada faktor kedekatan dengan orang-orang tertentu.
Institusi Polri terlihat makin tidak mendalami esensi pembinaan karyawan (binkar) di dalam kepolisian. Jika dibiarkan, situasi ini bisa berdampak negatif bagi lingkungan dalam Polri. Anggota Polri semakin tidak punya pegangan dalam menapaki jenjang kariernya. Sistem yang terjadi di Polri sekarang ini bukan out off the box tapi kekonyolan yang bisa membuat frustrasi dan menghancurkan institusi Polri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar