Ozzy Sulaiman Sudiro |
Majelis Pers berhasil menyusun kode
etik wartawan dan menyerahkan rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pers ke
DPR RI. Itulah yang membidani lahirnya Undang Undang No.40 Thn 1999 Tentang
Pers. secara konstitusi Undang Undang tersebut mengamanahkan akan dibentuk
Dewan Pers independen.
Karena Dewan Pers warisan produk
rezim Orde Baru itu telah dinyatakan demisioner oleh Yakob Utama sebagai
Pelaksana Harian Dewan Pers saat itu di hadapan para pimpinan
organisasi-wartawan pada tanggal 5-7 Agustus tahun 1999 di Hotel Topas Bandung
yang juga merupakan rangkaian kegiatan sebelumnya yaitu rapat kordinasi (Rakor)
Departemen Penerangan pada tanggal 26-28 Mei tahun 1999 di Hotel Garuda
Malioboro Yogyakarta yang dihadiri sejumlah para pimpinan organisasi wartawan.
Sebagai rangkaian kegiatan Saat itu pula dilanjut dengan rapat-rapat di Dewan Pers dengan disepakati beberapa hasil keputusan bersama. Beberapa hal di antaranya meratifikasi kembali kode etik wartawan Indonesia (KEWI) menjadi kode etik jurnalistik (KEJ) serta memberi penguatan-penguatan kepada dewan pers sebagai ujung tombak umat pers dalam mengawal agenda reformasi dan demokrasi sebagai bagian dari pilar keempat (4) demokrasi.
Sebagai rangkaian kegiatan Saat itu pula dilanjut dengan rapat-rapat di Dewan Pers dengan disepakati beberapa hasil keputusan bersama. Beberapa hal di antaranya meratifikasi kembali kode etik wartawan Indonesia (KEWI) menjadi kode etik jurnalistik (KEJ) serta memberi penguatan-penguatan kepada dewan pers sebagai ujung tombak umat pers dalam mengawal agenda reformasi dan demokrasi sebagai bagian dari pilar keempat (4) demokrasi.
Dan di era reformasi, UU Pers Nomor
40 Tahun 1999 merupakan garis lurus amanah UUD’45. Dengan adanya Amandemen
pasal 28 huruf (a) sampai (f) tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan
pendapat dan memperoleh hak Informasi, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (TAP MPR) Republik Indonesia, Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Maka UU Pers perlu dikaji ulang
karna UU No. 40 thn 1999 tentang Pers sudah tidak Relevan dan bertentangan
dengan UUD 1945. Mengingat bahwa lahir UU No. 40 thn 1999. Sementara UUD 1945
sudah mengalami beberapa kali amandemen. Terutama termaktub tentang pasal HAM.
Artinya Bahww UU No.40 thn 1999
tentang Pers jari prematur dan belum sempurna karena bertentangan dengan UUD
yang sudah diamandemen,
Jadi seyogyanya Dewan Pers tidak
boleh membuat aturan atau regulasi mengenai oraganisasi pers maupun
media/wartawan. karena Dewan Pers hanya merupakan lembaga AdHoc.
Hal ini sesuai Pada pasal 1 UU Pers
tidak ada definisi Dewan Pers dalam Ketentuan Umum sebagai ruh UU Pers.
“Dewan Pers baru muncul pada Pasal
15 UU Pers. Jadi saat UU Pers disahkan Dewan Pers belum ada dan baru kemudian
dibentuk oleh organisasi pers mengacu dari pasal 15,” .
Menyikapi fenomena pesatnya
perkembangan pers Indonesia, maka keberadaan Dewan Pers sudah tidak lagi
menjadi payung hukum para organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan.
Sekjen Majelis Pers yang juga ketua
umum KWRI Ozzy Sulaiman Sudiro mengatakan, Dewan Pers bukan Lembaga Verifikasi
apalagi legislasi penetu kelayakan sebuah organisasi maupun media. Sesuai
tupoksinya jelas bahwa keberadaan Dewan Pers hanya berfungsi sebagai
fasilitator bagi seluruh organisasi pers dan perusahaan media.
Jadi, sesuai Undang-Undang, lanjut Ozzy, keberadaan Dewan Pers tidak ada satupun pasal yang menerangkan kewenangannya terkait legislasi dan verifikasi, namun hanya boleh mendata organisasi wartawan dan perusahan media.
Jadi, sesuai Undang-Undang, lanjut Ozzy, keberadaan Dewan Pers tidak ada satupun pasal yang menerangkan kewenangannya terkait legislasi dan verifikasi, namun hanya boleh mendata organisasi wartawan dan perusahan media.
“Apalagi memiliki HAK menentukan
kebijakan yang justru berpotensi memberangus kemerdekaan pers itu sendiri
dengan modus akal-akalan untuk kepentingan “rulling party”, padahal seharusnya
sesuai salah Satu fungsi dewan pers adalah melakukan pengkajian untuk
pengembangan kehidupan pers, bukan malah mematikan kehidupan pers,” tegasnya.
Ozzy juga menguraikan, Pers adalah
produk etika, secara eksistensinya, produk jurnalis adalah muatan informasi.
Munculnya berbagai macam konflik horizontal maupun vertikal terhadap sengketa
pers yang menandakan lemahnya UU Pers, banyak keluhan masyarakat terhadap pers
antara lain, masih banyak media yang mengabaikan nilai-nilai privasi,
mengembangkan berita berbau pornografi, fitnah, gosip, isu SARA, sadisme serta
mengemas berita dalam dimensi konflik, atau pada intinya masih banyak media
yang mengabaikan kaidah- kaidah jurnalistik di dalam pemberitaannya. (*/rls)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar