KABARKALTIM.CO.ID
-- "Tak ada yang lebih kuat dibandingkan kekuatan rakyat banyak (people
power). Dalam masyarakat otoriter, 'people power' berkuasa menumbangkan
rezim yang dianggap paling kuat sekalipun. Dalam masyarakat demokratis,
'people power' sangat berkuasa mengganti atau mempertahankan kekuasaan
siapapun melalui pemilu." Demikian rangkuman pendapat dari Denny JA,
pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA).
Datangnya fenomena baru ini (people power), menurut Denny JA, di era pemilu demokratis di Indonesia sejak pemilu langsung 2004, hal itu sudah terbaca melalui "quick count power" -- (kekuatan hitung cepat).
Apa itu "quick count power"? Melalui paparannya Denny JA mengatakan, itu adalah cermin paling cepat dan paling akurat membaca "people power" di era pemilu. Dari "quick count power", seketika kita mengetahui siapa yang dikehendaki "people power" untuk memegang kendali pemerintahan.
Datangnya fenomena baru ini (people power), menurut Denny JA, di era pemilu demokratis di Indonesia sejak pemilu langsung 2004, hal itu sudah terbaca melalui "quick count power" -- (kekuatan hitung cepat).
Apa itu "quick count power"? Melalui paparannya Denny JA mengatakan, itu adalah cermin paling cepat dan paling akurat membaca "people power" di era pemilu. Dari "quick count power", seketika kita mengetahui siapa yang dikehendaki "people power" untuk memegang kendali pemerintahan.
Kekuatan "quick count power" itu, suka ataupun tidak, datang melalui aneka lembaga survei yang kredibel.
*
Ada lima alasan di era pemilu, mengapa akhirnya justru "people power" itu mengejawantah dan menjelma salah satunya melalui "quick count power".
Pertama, memang ada kebutuhan rakyat banyak untuk tahu lebih cepat kemana arah "people power" dalam pemilu presiden. Jika hari ini mereka memberikan suara dalam pemilu, dan jika teknologi memungkinkan, hari ini juga mereka perlu tahu siapa yang terpilih.
KPU sebagai lembaga resmi tak bisa memberikan kebutuhan itu. Perhitungan manual, besarnya populasi pemilih, dan tersebarnya teritori Indonesia, membuat KPU membutuhkan sekitar 35 hari untuk hitung suara.
Ada ruang kosong menganga. Bagaimana memenuhi kebutuhan tahu rakyat banyak, soal arah "people power" dalam pemilu? Yang jika bisa, hasilnya diketahui di hari itu juga! Kebutuhan rakyat banyak itu begitu kuat memanggil-manggil. "Quick Count" pun datang memenuhi panggilan itu.
Kedua, ilmu pengetahuan sudah sampai di sana. "People Power" dalam pemilu yang kita kenal sekarang pertama kali terjadi, dalam sejarahnya, di tahun 1789. Itulah momen ketika untuk pertama kalinya Amerika Serikat memilih presiden. Terpilih saat itu George Washington.
Tapi baru di tahun 1824, 35 tahun kemudian, eksperimen survei opini publik dilakukan. Harrisburgh Pensylvanian dikenang sebagai lembaga survei pertama yang bereksperimen dengan opini publik. Di tahun itu, Harrisburgh mencoba merekam opini siapa yang layak menjadi presiden AS: Andrew Jackson atau John Quincy Adams.
Setelah itu, generasi demi generasi menyempurnakan metode survei opini publik. Banyak kesalahan dilakukan. Tahun 1945, 121 tahun kemudian, Gallup Poll memulai metodelogi survei opini publik yang menjadi dasar riset opini publik masa kini.
Secara bertahap survei terus tumbuh dan bervariasi. Aneka bentuk lain dengan prinsip yang sama lahir seperti "exit poll" dan "quick count".
Di Indonesia, pemilu partai era reformasi pun datang di tahun 1999. Kemudian diikuti pemilu presiden langsung yang pertama di tahun 2004. Ini momen yang menjadi ibu kandung bagi lahirnya "quick count" di Indonesia.
LSI Denny JA, beserta lembaga survei lain, selalu menampilkan "quick count" dalam hajatan besar pemilu presiden dan aneka pilkada penting.
Akurasi "Quick Count" LSI Denny JA tercatat "tak pernah salah" dalam menyatakan pemenang pemilu dan pilkada. Sudah lebih 200 kali "Quick Count" LSI Denny JA dibuat. Sebanyak itu pula akurasinya terbukti lagi dan lagi.
Karena sudah terbukti akurasinya, "quick count power" semakin mendapatkan legitimasi sebagai cermin dari "people power" dalam pemilu.
*
Ketiga, akurasi "quick count power" sebagai cermin "people power" dalam pemilu praktis sudah diterima oleh umumnya elit politik. Jika ada yang tak menerima, itu lebih bentuk manuver karena mereka sedang dirugikan oleh hasil "quick count" saat itu.
Lebih lanjut Denny JA menyentil, ketik saja di Google search. Kelompok Prabowo kini memang seolah menunjukkan ketidak percayaannya pada "quick count" Pilpres 2019. Tapi ketika kelompok ini memenangkan Pilkada DKI tahun 2017, juga hasil dari "quick count" yang sama, dari lembaga yang sama, di hari pencoblosan itu juga mereka merayakan kemenangan.
Tempat mereka merayakan kemenangan di rumah Kertanegara, Kebayoran, Jakarta. Itu tempat yang sama yang kini digunakan untuk melawan hasil "Quick Count" Pemilu Presiden 2019.
Atau lihat saja Google search soal respon partai pendukung Prabowo di 2019. PAN bersyukur dengan hasil pemilu partai 2019. PKS juga menyambut gembira hasil pemilu partai 2019. Namun mereka memilih tak berkomentar soal "quick count" pemilu presiden 2019.
"Quick count partai" dan "quick count presiden" itu sama saja. Metodologinya sama. Bahkan dikerjakan oleh lembaga survei yang sama. Juga dilaksanakan di momen yang sama.
Semua elit penting pada dasarnya percaya pada "quick count". Ini pula yang menambah kekuatan "quick count power". (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar