oleh: Wilson Lalengke
Wilson Lalengke |
Jangan pernah berpikir jika
tulisan-tulisan yang Anda kirim ke redaksi sebuah surat kabar, majalah,
atau penerbit, yang dikembalikan kepada penulisnya melulu karena tulisan
tersebut tidak bermutu. Harus diyakinkan pada diri sendiri bahwa
tulisan Anda itu berkualitas tinggi, setidaknya bagi diri sendiri
sebagai pembuatnya. Jika akhirnya ditolak oleh sebuah atau berbagai
media massa, umumnya alasan penolakan itu berputar pada: esensi tulisan
yang berbeda dengan misi media dan yang terbanyak adalah karena
kesalahan kecil berupa salah ketik dan penggunaan kata/bahasa dalam
tulisan yang kurang tepat.
Jurnal ilmiah, baik
nasional apalagi internasional lebih ketat lagi. Editor jurnal ilmiah
internasional mempersyaratkan kesalahan ketik hanya boleh tiga (3) kali
dalam sebuah tulisan. Artinya, saat seorang editor membaca tulisan
ilmiah Anda dan tiba pada kesalahan ketik yang ke-4, maka dengan segera
tulisan tersebut akan dilempar ke tong sampah, tidak peduli apakah
substansi tulisan tersebut penting atau tidak. Bahkan bila teramat
penting pun, tulisan ilmiah itu akan segera dikembalikan kepada Anda
untuk diedit, direvisi, atau diperbaiki lagi. Dalam kasus terakhir ini,
yang pasti kredibilitas tulisan dan penulisnya telah mengalami degradasi
dan sulit untuk bersaing dengan tulisan-tulisan ilmiah kiriman penulis
lainnya.
Mengedit dapat diartikan sebagai
kegiatan membaca kembali sambil menemukan kesalahan-kesalahan
redaksional sebuah tulisan. Proses ini biasanya dilakukan oleh diri
sendiri terhadap tulisan sendiri dan oleh editor berbagai media
massa--harian, mingguan, tabloid, majalah, online dan lain sebagainya.
Kegiatan edit-mengedit terlihat sepele sehingga tahap ini sering sekali
kita abaikan. Padahal, pengalaman hampir semua penulis besar
mengungkapkan bahwa proses editing adalah sebuah tahapan menulis yang
menjadi salah satu kunci sukses mereka menjadi penulis ternama. Editing
adalah kunci pertama untuk memprediksi apakah seorang penulis bakal
sukses atau tidak. Oleh karena itu, dalam setiap kali menulis,
senantiasalah melakukan proses editing minimal tiga kali sebelum sebuah
tulisan dikirimkan ke redaksi atau ditayangkan di media Anda. Walau
sudah demikian ketatnya melakukan editing, tidak jarang masih juga
terdapat kesalahan ketik; kesalahan pemenggalan kata, kalimat, dan
paragraph; kesalahan tanda baca; dan lain sebagainya.
Ada
penulis yang beranggapan bahwa berhubung ada tim editor pada setiap
surat kabar atau media massa sehingga setiap penulis boleh saja
mengirimkan tulisannya kepada redaksi tanpa harus diedit alias masih
amat mentah, belum terverifikasi ketepatan kata, tanda baca, pemenggalan
kalimat, dan lai-lain. Pendapat ini ada benarnya tetapi bila Anda
terbiasa melakukan editing dan terutama memastikan bahwa tulisan Anda
terhindar dari kesalahan-kesalahan redaksional kecil, maka keuntungan
itu tidak akan dinikmati oleh orang lain, melainkan oleh diri Anda
sendiri. Keuntungan itu antara lain berupa pesan Anda dapat ditangkap
dengan baik oleh editor dan pembaca, disiplin tulis-menulis Anda akan
semakin meningkat dan berimbas kepada karakter kepribadian Anda yang
baik dalam menghadapi tugas-tugas lain, dan tulisan tersebut akan cepat
dimuat atau ditayangkan di media massa sasaran karena sudah bersih dari
kesalahan-kesalahan redaksional.
Untuk membantu
Anda, para penulis pemula, berikut ini beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam mengedit tulisan disesuaikan dengan pengalaman
kesalahan editing tulisan-tulisan di berbagai media, terutama online,
selama ini. Dalam memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan ini perlu
ditunjang oleh keinginan Anda untuk belajar tata bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Melalui pola ini, Anda bekerja dengan modal berbahasa
yang berkualitas tinggi. Ketentuan-ketentuan di bawah ini pun, hanya
sekumpulan kecil dari hal-hal yang perlu diketahui, dipahami, dan
diterapkan oleh seorang penulis. Mempelajari dan menambahkan dengan
ketentuan atau kaidah penulisan yang baik lainnya menjadi tugas kita
bersama.
Kesalahan pertama yang sering dan
mudah dijumpai adalah kesalahan menempatkan posisi tanda-tanda baca,
seperti tanda "titik", "koma", "titik dua", "titik koma", dan lain-lain.
Fungsi titik pada umumnya adalah untuk mengakhiri sebuah kalimat
sehingga setiap kalimat yang sudah selesai perlu diberi tanda titik (.).
Tanda ini dibuat segera setelah kata yang terakhir pada kalimat itu
tanpa diantarai oleh spasi, alias menempel pada kata terakhir. Misalnya:
"Kucing itu memanjat pohon untuk menangkap burung.", bukan "Kucing itu
memanjat pohon untuk menangkap burung ." Perhatikan tanda titik yang
dibuat setelah kata "burung".
Setelah tanda
titik, diharuskan memberikan spasi (jarak antara) untuk memulai kalimat
baru. Misalnya: "Kucing itu memanjat pohon untuk menangkap burung. Dia
berusaha memanjat dengan mengendap-endap agar tidak terdengar oleh sang
burung sasarannya." Perhatikan dengan seksama tanda titik setelah kata
"burung" segera diikuti tanda antara (spasi). Khusus tanda jarak antara
atau spasi ini, perlu diletakkan tidak hanya di antara setiap 2 kata,
tetapi juga setelah tanda-tanda baca (titik, koma, titik dua, titik
koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain-lain).
Tanda
koma (,), titik dua (:), titik koma (;), dan tanda baca yang lain
seperti tanda tanya (?), tanda seru (!), diletakkan segera atau menempel
pada kata yang mendahuluinya. Misalnya: "Ketiganya adalah Andy, Anna,
dan Anggun." Perhatikan tanda koma yang diletakkan segera tanpa spasi
setelah kata Andy, Anna, dan Anggun. Demikian juga dengan tanda-tanda
baca lainnya, misalnya (contoh:), (saya;), (mengapa?), (pergilah!) ("dia
sedang bepergian"), dan seterusnya. Khusus tanda kurung (...), tanda
kurung pembuka diletakkan segera sebelum kata atau menempel pada kata
yang akan mengikutinya; dan tanda kurung penutup diletakkan segera
sesudah kata yang mendahuluinya. Demikian juga dengan tanda petik ("...
"), tanda petik pembuka ditempelkan pada kata yang akan mengikutinya,
sedangkan tanda petik penutup ditempelkan setelah kata yang
mendahuluinya. Namun perlu diperhatikan bahwa bila kalimat yang dalam
tanda petik itu adalah sebuah kalimat langsung yang diikuti tanda titik,
maka tanda baca titik itu harus diletakkan sebelum tanda petik penutup.
Misalnya: dia berkata "Kami akan segera ke sana." Perhatikan tanda
titik yang ada di dalam tanda petik.
Kesalahan
editing lainnya yang sering sekali muncul dari artikel-artikel penulis,
baik penulis pemula maupun profesional adalah "salah ketik". Seperti
sudah disebutkan di atas, kita tidak terlepas dari kekurangtelitian
pengetikan ini. Misalnya, kata "bisa" tertulis "bias", kata "hukum"
menjadi "hokum", "menganggap" menjadi "mengangap", dan seterusnya.
Kesalahan-kesalahan ketik seperti contoh berikut ini lebih fatal
akibatnya karena merubah makna. Oleh sebab itu perlu benar dihindari
agar pesan yang ingin disampaikan tidak harus hilang oleh kesalahan
ketik. Contohnya: kata "tetapi" menjadi "tetap", kata "memang" menjadi
"menang", kata "busung" menjadi "burung", dan lain-lain.
Perlu
diingat bahwa dalam melakukan editing, penulis juga perlu memperhatikan
kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Contoh kesalahan yang sering terjadi
adalah penempatan spasi di antara suku kata "di" dan kata yang
mengikutinya, seperti "di bahas" yang seharusnya "dibahas", "di rekam"
yang mestinya "direkam", "di balas" seharusnya "dibalas", dan lain-lain.
Satu kunci sederhana untuk menentukan apakah suku kata "di" itu perlu
dipisahkan dari kata dasarnya adalah apakah kata setelah "di" itu
merupakan kata benda, keterangan tempat dan keterangan waktu atau bukan.
Misalnya "di sekolah" bukan "disekolah". Perhatikan bahwa sekolah
adalah kata keterangan tempat sehingga kata itu dipisahkan dari partikel
(disebut preposisi) "di" yang mendahuluinya. Namun akan berbeda jika
suku kata "di" itu berfungsi sebagai awalan (prefix), semisal
"disekolahkan", bukan "di sekolahkan".
Demikian
juga untuk keterangan waktu, partikel "di" harus dipisah dari kata
dasarnya. Contoh: "di siang hari", "di bulan Januari", "di masa lampau",
dan sebagainya.
Kapan kita gunakan suku kata
"di" yang tersambung dengan kata dasarnya? Setiap "di" yang diikuti kata
kerja, harus disambung. Contoh: "baca" adalah kata kerja, ketika
ditambahkan suku kata "di", menjadi "dibaca". Pada kata kerja "baca"
ini, "di" dikenal sebagai imbuhan (ingat pelajaran SD tentang awalan,
sisipan, akhiran). Contoh lainnya: "dimakan", "dipuji", "dibungkus", dan
lain-lain.
Berkenaan dengan komitmen PPWI yang
akan terus-menerus mendukung semua orang menjadi penulis atau pewarta,
maka amat wajar jika terdapat banyak sekali tulisan dari para pewarta
warga yang masih belum sesuai dengan ketentuan tata bahasa Indonesia.
Namun demikian, jangan berkecil hati karena semua itu dapat diatasi
secara perlahan-lahan, terutama karena dukungan Anda sebagai penulis dan
pewarta, para pembelajar yang akan terus belajar mengetahui dan
memahami tata bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. Sebab itu,
menyempatkan diri mempelajari peraturan ketatabahasaan Indonesia adalah
mutlak bagi seorang pewarta warga.
Anda
boleh saja melakukan kesalahan hari ini, entah salah ketik, salah tata
bahasa, dan lain-lain. Namun satu hal yang tidak boleh terjadi jika
kesalahan itu harus terulang pada tulisan Anda berikutnya. Penyesuaian
tulisan kita terhadap peraturan kebahasaan diperlukan tidak hanya untuk
meningkatkan kualitas tulisan Anda tetapi juga dalam kerangka
membiasakan diri sendiri dan bangsa Indonesia berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar