catatan : raga affandi (pemimpin redaksi kabarjateng.co.id)
PENGALAMAN tak terlupakan adalah ketika mengikuti acara deklarasi non
partisan di Yogyakarta tahun 2014 lalu. Deklarasi saat itu melibatkan
banyak sekali seniman seperti Butet Kertarajasa, Bramantyo, Landung
Simatupang, dan lain-lain. Bertempat di Alun-alun Utara Keraton
Yogyakarta.
Seorang tukang becak mengaku menyumbangkan uang
limapuluh ribu rupiah agar bisa ikut pawai becak dalam acara tersebut.
Para penari berdandan atas biaya sendiri; para pengisi acara, salah
satunya Jogja Hiphop yang terkenal dengan lagunya Jogja Istimewa,
menyumbangkan lagunya tanpa dibayar. Para peserta tumpah ruah memenuhi
alun-alun utara bersolek kegembiraan. Hebatnya lagi, para pemotor PDIP
yang biasa gembar-gembor knalpot motor, mendadak adem dan menyimak acara
dengan takzim.
Dari acara itu saya mendapatkan sebuah kesan,
bahwa selain politik transaksional, yang selama ini digambarkan dalam
pameo: "Tak ada makan siang gratis", telah bangkit sebuah gerakan
politik Kesukarelaan, yang menggambarkan semangat yang berseberangan
dengan politik transaksional.
Politik kesukarelaan juga yang
membuat saya melangkahkan kaki ke anjungan tunai mandiri (ATM) dan melakukan transfer sebanyak 50
ribu rupiah ke rekening Jokowi.
Harapan saya, Jokowi akan memerintah
Indonesia tanpa tekanan apapun, dari siapapun, karena tak berhutang pada
donatur besar yang punya kepentingan. Saya berharap, satu-satunya
tekanan hanya berasal dari pemilihnya yang hanya berharap pemerintah
akan menjadi fasilitator yang baik bagi rakyatnya, menyiapkan sarana
prasarana, agar rakyat dapat berjalan dan berusaha di atasnya.
Saya bersyukur, harapan itu terkabul. Jokowi bersih, dan mendorong optimisme di dalam hati berjuta rakyat Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar