Ozzy memberikan keterangan di hadapan awak media |
Ditengarai ratusan wartawan yang saat ini tengah geram dan berkumpul untuk menyatakan sikap dikarenakan pergeseran fungsi dari Dewan Pers yang seharusnya bisa menjadi rumah dan melindungi umat pers dalam menjalankan tugas jurnalistik sesuai dengan amanah UU Pokok pers No. 40 Tahun 1999.
Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi
Indonesia (KWRI) Ozzy S Sudiro menyampaikan saat ini insan pers Indonesia
tengah bergejolak, khususnya setelah adanya ketidaksetaraan atau pemisahan
antara pers lokal dan pers yang menamakan dirinya mainstream.
“Mereka dibelenggu dengan kebebasan
dalam sangkar. Satu diangkat yang satu dipijak dengan politik belah bambu yang
selalu diterapkan dalam berbagai kebijakan. Ini harus segera dituntaskan agar
tidak berlarut-larut dan menjadi pemicu,” tegas Ozzy menyampaikan melalui
pernyataannya di hadapan sejumlah awak media di Gedung Dewan Pers Lantai V,
Jalan Kebon Sirih Raya No. 32-34, Jakarta pada Selasa (3/7/2018).
Ozzy menilai saat ini lembaga yang seharusnya bisa mewadahi dan melindungi tugas wartawan di lapangan dan bisa merangkul semua lini insan pers tengah lupa pada sejarah kemerdekaan Pers yang diplopori oleh Majelis Pers yang mengafiliasi organisasi Pers reformis dan coba menghapus catatan sejarah itu. Hal ini tentu bertolak belakang dengan esensi jurnalistik yang selalu mengedepankan edukasi dalam konteks pencerdasan kehidupan bangsa.
“Bagaimana bisa, wartawan dituntut
untuk profesional, kompetensi, melaksanakan etika jurnalistik sementara Dewan
Pers itu sendiri menunjukkan kebohongan publik dan kejahatan yang tidak
beretika. Ingat, penghapusan catatan sejarah merupakan pembohongan, pembodohan
dan kejahatan yang harus segera diluruskan,” tukasnya.
Ozzy menyebutkan kejahatan dan
pembohongan serta pembodohan yang dilakukan adalah dengan meniadakan puluhan
organisasi pers yang punya andil holder dalam melahirkan Dewan Pers. Saat ini
hanya ada tiga organisasi yang diakui dan puluhan lainnya tidak diakui dan
tidak ada dalam catatan yang dipublish Dewan Pers.
“Kami tidak perlu pengakuan dan
tidak penting diakui oleh Dewan Pers. Selama rakyat dan masyarakat mengakui
keberadaan kami, semua aspirasi akan terwakili. Permasalahannya adalah bukan
diakui atau tidak tetapi setidaknya Dewan Pers harus mengakui dan mencatat
sejarah, mencatat keberadaan 27 organisasi Pers yang menamakan Majelis Pers
(MP) yang pernah melahirkannya dalam catatan sejarah Pers indonesia,telah
meratifikasi yang semula dari kode etik wartawan (KEWI) menjadi kode etik
jurnalis (KEJ), memberi penguatan pengautan terhadap Dewan Pers,dan telah
memberi ruang kemerdekaan Pers untuk dipublish agar generasi saat ini bisa
mengetahui sejarah itu sendiri, bukan malah dihilangkan,” ujarnya.
Ketum KWRI yang notabene merupakan
Sekretaris Jenderal Majelis Pers ini menilai, sebuah kewajaran jika umat pers
saat ini bergejolak. Semua karena adanya mereka merasa tidak mendapatkan
perlakuan yang adil dalam menjalankan kedaulatan jurnalistik.
“Undang-Undang Pers harus direvisi,
disempurnakan karna sudah tidak relevan dan kontekstual dimana lahirnya UU No
40 thn 1999 tentang pers sebelum amandemen UU dasar 1945 yang sudah beberapa
kali diamandemen terutama mengenai HAM, dan mengenai tugas serta fungsi Dewan
Pers itu sendiri harus dikembalikan kepada khitohnya agar semua kembali kepada
tatanan seperti yang diamanatkan UU dan cita-cita para wartawan para pejuang
Pers Reformis terdahulu yang menginginkan kemerdekaan pers yang berdaulat penuh
demi untuk kehidupan bangsa dan negara Indonesia,” ujarnya.
Diketahui, saat ini puluhan
organisasi wartawan dan ratusan jurnalis akan melakukan unjuk rasa
besar-besaran di halaman Gedung Dewan Pers untuk melayangkan tuntutan terhadap
aturan dan kebijakan yang dianggap malah mengurung kebebasan mereka dalam
menjalankan tugas jurnalistik. Selain itu kabarnya pemicu kemarahan ratusan
wartawan tersebut juga dikarenakan adanya berita kematian seorang jurnalis
di dalam lapas terkait pemberitaan yang dibuatnya.
“Setiap karya jurnalistik yang disebut berita, sepenuhnya tidak bisa dikriminalisasi. Apalagi ada wartawan sampai meninggal dunia atau diaaniaya karena berita yang ditulisnya. Ini sebuah kejahatan, wajar mereka marah dan geram atasnama solidaritas profesi,” pungkasnya. (zy)
“Setiap karya jurnalistik yang disebut berita, sepenuhnya tidak bisa dikriminalisasi. Apalagi ada wartawan sampai meninggal dunia atau diaaniaya karena berita yang ditulisnya. Ini sebuah kejahatan, wajar mereka marah dan geram atasnama solidaritas profesi,” pungkasnya. (zy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar