Jangan Memindahkan Persoalan Rohingya ke Indonesia
oleh : priyo suwarno (jurnalis senior)
Jokowi menanggapi krisis kemanusiaan di Myanmar (net) |
PRESIDEN RI, Joko Widodo mengeluarkan
pernyataan resmi terkait tragedi kemanusiaan yang menimpa etnik Rohingya yang
bermukim di wilayah Rakhine. Presiden menyesalkan
krisis kemanusiaan itu, tetapi bukan hanya kecaman tetapi juga dengan aksi
nyata.
Jokowi menegaskan perlu aksi
nyata bukan hanya pernyatan kecaman-kecaman, dan pemerintah berkomitmen terus
untuk membantu krisis kemanusiaan, bersinergi dengan kekuatan masyarakat sipil
Indonesia dan juga masyarakat internasional. Pernyataan resmi itu disampaikan di
Istana Negara, Jakarta, Minggu (3/9/2017).
Kita
merasa prihatin atas derita yang dialami etnik Rohingya yang bermukim di wilayah Provinsi Rakhine, Myanmar Utara. Kondisinya makin merana, pasca sekelompok
orang Rohingya mengangkat senjata dan melakukan serangan serentak di wilayah
perbatasan. Serangan perdana tanggal 25 Agustus 2017 itu, sedikitnya 36
orang tewas.
Korban
terdiri dari 10 orang aparat kepolisian Myanmar, satu orang aparat militer dan
sisanya sebanyak 25 orang korban di pihak Rohingya.
Akibatnya,
pihak pemerintah Myanmar melakukan operasi militer, mereka memburu kaum perusuh
yang menyerang pos polisi disana. Akibatnya banyak warga Rohingya yang bermukim
di wilayah itu menjadi ‘korban’ aparat Myanmar. Sejauh ini dikabarkan
sedikitnya 400 orang tewas.
Selain
itu terjadi gelombang eksodus dari Rakhine ke Bangladesh, mereka pada umumnya
berusaha menghindar dari operasi militer. Dalam upaya eksodus ini banyak yang
meninggal dan mati secara mengenaskan, beberapa di antaranya tewas di laut
karena perahunya tak laik dihantam gelombang.
Krisis yang
melanda ribuan orang etnis Rohingya di Myanmar telah terjadi selama bertahun-tahun.
Praktik kekerasan hingga menuju genosida atas dasar diskriminasi etnik menjadi
ujung pangkal bagi ribuan orang Rohingya untuk melarikan diri dari tanah
kelahiran mereka.
Orang-orang
etnis Rohingya itu tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Dengan begitu,
tidak ada perlindungan hukum bagi mereka. Hanya hukum rimba yang dibuat oleh
aparat militer Myanmar yang berlaku. Kepala Militer Myanmar, Senin (28/8) mengecam
klaim kewarganegaraan Muslim Rohingya dan membela tindakan keras pemerintah terhadap
mereka.
Sekitar 1.1
juta warga Rohingya, yang dilucuti dari kewarganegaraan mereka pada 1982,
sering disebut sebagai imigran “ilegal” oleh para pemimpin Myanmar. Gerakan
mereka amat dibatasi, dengan puluhan ribu orang terkekang di kamp-kamp yang mengerikan
sejak kekerasan mengusir mereka dari rumah pada 2012.
Ratusan ribu
orang etnis Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine di Myanmar sejak
militer memulai operasi keamanan Oktober 2016. Tindakan itu sebagai tanggapan
atas serangan oleh orang-orang bersenjata dari etnis Rohingya yang disebut
dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di pos-pos militer Myanmar.
Etnis
Rohingya mencari cara semampu mungkin untuk menjauhi aparat pembunuh dengan
senjata dan sepatu lars yang tak henti memburu mereka. Mulai dari berjalan kaki
puluhan kilometer di tengah hutan untuk sampai ke Bangladesh, sampai mengarungi
laut bermil-mil jauhnya untuk mencari perlindungan di Indonesia.
Ini adalah
fakta dan kondisi yang terjadi sampai saat ini etnik Rohingya menghadapi nasib
sengsara. Satu sisi tidak diakui sebagai etnik Myanmar, sebaliknya ditolak pula
tinggal di wilayah Bangladesh. Penderitaan ini masih terus berlangsung.
Indonesia
secara umum sangat care terhadap nasib Rohingya, oleh karena itu pemerintah residen
Joko Widodo pun mengambil langkah-langkah diplomatik untuk turut serta
menyelesaikan persoalan ini.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi Myanmar, Minggu (3/97) sore, berangkat
ke Myanmar dalam rangka melakukan lobi
kepada Pemerintah setempat. Perjalananya ini menurut Menteri ni membawa amanah dari
semua masyarakat Indonesia, agar krisis kemanusiaan ini dapat segera
diselesaikan.
Retno mengaku telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak membicarakan situasi
etnis Rohingya di Rakhine. Pertama, Retno berkomunikasi dengan National
Security Adviser Myanmar, Suu Kyi.
Selain itu menghubungi Menteri Luar Negeri Bangladesh dan Advisory
Commission on Rakhine State Kofi Annan. Dengan Menlu Bangladesh, Retno
mendorong agar Bangladesh ikut serta membantu penanganan pengungsi Rohingya.
Ini adalah
upaya diplomatik Indonesia sebagai bagian dari amanat UUD 45 untuk turut serta
secara aktif menjaga keamanan dunia. Namun sayang justru di dalam negeri
Indonesia sendiri, terjadi tindakan yang tercela.
Masalah Mynmar-Rohingya iniun kemudian menjadi topik menarik di berbagai
kalangan di Indonesia. Misalnya Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya secara
terbuka Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) meminta Pemerintah Indonesia menarik pulang Duta Besar RI di Myanmar.
Sebaliknya, pemerintah juga diminta mengusir Duta Besar Myanmar untuk kembali
ke negaranya.
Ketua Fraksi PAN Teguh Juwarno pun aktif menghadiri aksi damai di depan Kantor
Kedutaan Myanmar di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9). Menurut Teguh,
permintaan itu sudah disampaikan Fraksi PAN secara resmi dalam rapat paripurna
di Gedung DPR RI.
Menurut Teguh, Fraksi PAN mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang
sudah mengirim bantuan logistik melalui Kementerian Luar Negeri terhadap warga
Rohingya. Namun, hal itu dinilai belum cukup. Apalagi, menurut Teguh, eskalasi
penderitaan yang dialami warga Rohingya semakin menjadi dalam beberapa hari
terakhir.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta Presiden
Joko Widodo tidak diam dan mulai angkat bicara sebagaimana yang pernah
dilakukan saat ada teror di Paris dan London. Menurut tokoh PKS itu yang terjadi
di Rohingya lebih mengerikan dari aksi teroris di Paris dan London, tetapi
sampai sejauh ini kita belum dengarkan satu ungkapan apapun dari Pak Presiden.
Padahal ini jelas akan menghadirkan dampak apapun di negara-negara Asia.
Dan Presiden Jokowi sudah menyatakan sikapanya, yaitu
melakukan tindakan nyata bukan hanya sekadar melontarkan kritik. Mari kita
semua bertindak positif membantu Rohingya, bukan menjadi isu Rohingya menjadi
pembenar untuk melakukan tindakan untuk mengganggu keamanan di dalam negeri.
Gejala ini sudah mulai tampak ketika ada aksi demo di
depan gedung Kedubes Myanmar, Minggu (3/9), kemudian muncul pula aksi
pelemparan bom Molotov di gedung kedubes itu. Aksi ini mengarah pada tindakan
kriminal, karena gedung kedubes satu Negara diserang oleh orang tidak bertanggung jawab.
Alih-alih ini semua menjadikan Indonesia sebagai medan
baru urusan Rohingya, sementara negeri ini masih membutuhkan situasi aman dan
nyaman dalam melaksanakan aktivitas bernegara. Bila itu terjadi terus, maka
suka tidak suka mau tidak mau aparat kepolisian Negara ini akan bertindak.
Untuk siapa untuk memberikan pengamanan kepada warga Negara Indonesia.
Kini Polisi sudah mulai bergerak melakukan
penyelidikan atas pelemparan Molotov ke Kedubes Myanmar berbekal rekaman CCTV.
Sekali lagi kita bersimpati dan memahami kondisi etnik
Rohinya, tetapi bukan untuk dijadikan alasan memindahkan persoalan itu ke Indonesia.
Ini berbahaya. Dengan cara melemparkan molotov
jelas-jelas menunjukkan upaya memindahkan persoalan itu ke Indonesia.
Polisi Republik Indonesia mempunyai tugas tambahan
untuk menjaga agar persoalan Rohingya yang berada di Myanmar tidak berdampak
buruk bagi dalam negeri Indonesia. Betatapun kita sangat perduli terhadap nasib
buruk etnik Rohingya di Rakhine, tetapi kita mesti bijak agar persoalan di negara
‘sono’ kemudian dijadikan alat untuk melakukan tindakan yang bisa menganggu
keamanan yang sekaligus merugikan bangsa dan negera Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar