oleh : Priyo Suwarno (jurnalis senior)
BETAPA seru debat ILC di TV One membahas: Halal Haram
Saracen! Terkhusus adu argumentasi antara Anggota DPR RI, Faizal Akbar
melawan seorang pegiat media sosial bernama Jon Riah Ukur Ginting,
pemilik nickname: Jonru. Dia begitu populer sangat
agresif bermain di ranah dunia maya. Lewat dunia maya ini pula Jonru banyak
menebar konten bernuansa politik dengan kemasan –yang barangkali sulit dijerat
dengan hukum di Indonesia.
Selama ini pula memang Jonru yang begitu beken di dunia maya, seolah tak tersentuh hukum. Apapun yang posting mendapat respon positif maupun negatif, tetapi sejauh ini seolah posisi Jonru sebagai aktor untaouchable. Seolah tak tersentuh hukum dan bisa berkembang sedemikian rupa, hingga mendudukan dia sebagai seorang tokoh pengiat medsos.
Selama ini pula memang Jonru yang begitu beken di dunia maya, seolah tak tersentuh hukum. Apapun yang posting mendapat respon positif maupun negatif, tetapi sejauh ini seolah posisi Jonru sebagai aktor untaouchable. Seolah tak tersentuh hukum dan bisa berkembang sedemikian rupa, hingga mendudukan dia sebagai seorang tokoh pengiat medsos.
Saking terkenalnya, Jonru pun
mendapat kehormatan dari Karni Ilyas --Moderator ILC– untuk tampil sebagai salah satu narasumber
untuk membahas kasus Saracen. Terkait dengan pelanggaran hukum penebar
postingan berkonten ujaran kebencian (hate speech), hoax alias kabar
bohongan, yang mengarah pada pembenturan suku-agama-ras-antargolongan (SARA)
yang ujung-ujungnya membahaya kehidupan bernegara dan berbangsa.
Kelompok Saracen menurut
polisi memiliki 2.000 akun serta 800.000 aku bayangan yang bisa dimanfaatkan
untuk menyebarkan ujaran kebencian
melalui grup Facebook Saracen, Saracen Cyber Team, dan Saracennews. Untuk menebarkan
isu, mereka memasang sejumlah tarif tertentu dengan target tertentu dengan
konten SARA.
Mengapa Saracen? Karena
konten yang diposting dianggap menggangu keutuhan bangsa dan negara.
Nah untuk kepentigan itu,
maka Karni Ilyas pun mengundang Jonru. Undangan dilayangkan, akan tetapi hati
Jonru bimbang antara hadir atau tidak di acara itu. Lewat psotingannya, dia
khawatir jika datang dirinya masuk jebakan yang dipasang oleh musuh.
Kebimbangannya itu kemudian melahirkan kritikan pedas warganet, bahwa Jonru
pengecut. Tak ingin, predikat buruk ini melekat pada dirinya akhirnya Jonru
muncul di ILC.
Dia pun terlibat adu debat
keras dengan Faisal Akbar. Politisi dari
Senayan ini melempar sebuah statemen telak yang membenarkan bahwa dirinya
(Jonru) memposting konten bahwa orang tua Presiden Joko Widodo tidak jelas.
Tanpa banyak berpikir (atau memang mungkin tidak pernah berpikir), Jonru malah
mengatakan dengan jelas dan polos “Iya, bener Pak”. Ia lupa bahwa duduk
di samping Jonru adalah seorang Perwira Polri yang juga hadir dalam acara
tersebut.
Faisal Akbar pun
mempertunjukkan secreenshoot postingan yang dimaksud.
“Pak Polisi, sorry Pak Karni,
ini sudah terlalu jauh, disaksikan oleh seluruh orang. Tolong diproses manusia
ini,” ucap Akbar Faisal dalam acara di TV One, 29 Agustus 2017. Jonru tak mau
kalah gengsi, dengan teriakan lantang dengan panik dan suara bergetar namun
melengking, ia langsung berteriak tidak takut dipolisikan. Kemana pun pergi
bola akan berakhir di tangan polisi.
Ini semua terjadi karena kita
memasuki fase peradaban baru, kemampuan manusia melahirkan internet selain
membawa segudang manfaat ternyata, limbahnya juga tidak kalah ganas membawa
bencana bagi manusia.
Selain persoalan saracen,
sebelumnya berawal dari dunia maya pula muncul persekusi. Yaitu upaya seseorang
melakukan main hakim sendiri kepada pihak lain yang dianggap menghina dan
merugikan piahk lainnya.
Kelompok kuat memberlakukan
main hakim sendiri, kepada individu yang melontarkan kritik dan fitnah kepada
pihak lain. Ini pula yang pernah menimpa seorang remaja bernama PMA (15). Aksi
persekusi terhadap PMA terjadi 28 Mei 2017. Aksi ini diduga dipicu tulisan PMA
yang dianggap telah menghina Front Pembela Islam (FPI) dan pemimpinnya, Rizieq
Shihab, melalui media sosial.
PMA diinterogasi mengenai
maksud posting-annya di media sosial. Tamparan, pukulan, dari beberapa orang
yang ada di ruang interogasi mendarat di kepala dan pipinya. Terakhir dia
disuruh membuat surat pernyataan permohonan maaf dan membacakan surat tersebut
di hadapan sekelompok orang.
Kasus serupa sebelumnya juga
pernah menimpa Dr Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Solok, Sumatera Barat,
Didampingi Koalisi Masyarakat
Sipil Anti- Persekusi, Fiera menggelar konferensi pers di Kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis
(1/6/2017). Dia mengaku merasa tertekan setelah mengalami persekusi berupa
teror dan intimidasi.
Fiera, yang akrab disapa
Dokter Lola itu, tidak paham mengapa ia mengalami tindakan persekusi setelah
menulis status di akun Facebook-nya yang bernada sindiran terhadap tokoh
tertentu. Tindakan Persekusi berawal saat Fiera membuat tiga status pada akun
Facebook-nya pada 19 hingga 21 Mei 2017. Status tersebut dia buat setelah
menyaksikan berita konferensi pers pihak kepolisian di televisi terkait tentang
kebenaran barang bukti kasus kasus chat WhatsApp Firza Husein dan Rizieq
Shihab.
Polisi kemudian menuntaskan
persoalan ini ke jalur hukum. Tidak boleh sesiappaun bertindak main hakim
sendiri, apalagi menggunakan kekuatan masa untuk menekan pihak lain. Jika
terjadi, maka harus berhadapan dengan aparat hukum. Disitulah polisi bertindak
memberikan penegakan hukum dan perlindungan sesuai keperluan.
Sebelumnya polisi juga sudah
melakukan beberapa kasus penangkapan dan pengendalian terkait persekusi. Disisi
lain, polisi sudah begitu banyak menangkapi para warganet yang secara sengaja
memposting dan memberikan komentar yang mengarah pada tindakan hoax, hate
speech dan isu SARA.
Tidak semua warganet faham
dan menggunakan kebebasanya ‘bermain’ di dunia maya secara baik. Bahkan begitu
masih perilaku warganet menggunakan media ini menjadi tempat untuk melakukan
pelanggaran hukum dengan alihalih agar tidak tertangkap dan dibersihkan oleh
aparat kepolisian.
Sudah jelas, saat ini polisi
mempunyai tugas baru melakukan upaya preventif dan refpresif kepada para
warganet yang melakukan pelanggaran hukum lewat dunia maya.
Ini harus dibersihkan dan
diperbaiki agar perilaku warganet menggunakan fasilitas modern ini kelas tidak
boleh merugikan pihak lain dalam bentuk dan efek apapun. Gejala ini memang
menjadi bagian dari adanya proxy war yang lebih keras terkait dengan urusan
kehidupan bebangsa dan bernegara.
Selama ini polisi dikenal
sebagai aparat hukum untuk menyelesaikan urusan penyakit masyarakat alias
pekat. Penyakit ini sudah masuk ke semua sendi kehidupan masyarakat dalam
bentuk. Persoalannya, penyakit masyarakat ini kemudian bisa masuk ke sebuah
perangkat baru bernama internet.
Linier dengan tugas
pemberantasan kejahatan yang terjadi di masyarakat, maka sudah masuk ke ranah
dunia maya. Kini selain melakukan penegakan hukum perlindungan masyarakat
secara umum, polisi telah memasuki ranah baru, yaitu penegakan hukum di dunia
maya.
Pekerjaan baru ini sebagai
konsekuensi negara ini memberlakukan sistem politik demokrasi, dimana semua
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama. Termasuk kebebasan melakukan kritik
kepada siapapun. Limbah dari sistem ini siapa yang bertangung jawab? Polisi.
Dengan segala hak dan
kewenangannya, polisi saat ini sudah mulai bergerak untuk menertiban para
pelanggar dan pengacau masyarakat. So, hanya satu pesan yang perlu disampaikan
kepada seluruh warganet di Indonesia, betapa hebat kita sudah berhak memegang
dan mengendalikan piranti zaman digital, tetapi kita masih belum mempunyai
mental untuk berperilaku setara dengan alat yang kita miliki. Jika terus
terjadi, maka hukum akan bertindak. Nah, tinggal satu ini pesan sponsor:
Gunakalah internet hanya untuk tujuan dan kepentingan produktif yang bisa membawa dampak positif bagi diri
sendiri, orang lain, negara dan bangsa Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar