oleh : Advokat, Aktivis Dayak Ir Lusiano SH MSi
Lusiano |
DEWASA ini sudah
sangat perlu penerapan hukum adat untuk mengcegah dan menangkal
pelanggaran kriminal dan pelanggaran etika dan moral kita berbangsa dan
bernegara. Perlu kita dukung penerapan penggalian kembali hukum-hukum
adat masing-masing
daerah, karena itu sudah ada di nusantara sebelum masuknya agama-agama
dari
luar dan budaya-budaya luar serta hukum kolonial ada aturan bangsa di
kepulauan nusantara ini sebagai landasan masyarakat Adat Nusantara.
Hal itu perlu kita gali kembali dan diajarkan karena dalam Hukum Adat banyak
mengandung pesan petuah yang mengarah pada pendidikan etika, moral dan
perdamaian/musyawarah, menghargai hak orang lain, adat orang lain. Misalnya
mau merantau selalu ada pesan adat dari orang tua, hati-hati di rantau
orang, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Makna pesan lama itu
sekarang pudar dan luntur dan sudah diartikan di mana bumi dipijak
di situ tanah dikavling.
Ketuhanan Yang
Maha Esa
pun diplesetkan menjadi keuangan yang maha kuasa. Jadi benar-benar kita
krisis moral berbangsa dan bernegara, istilah Jawa mikul dhuwur mendem
jero,
juga sudah tidak berlaku. Para elit dan pemimpin bangsa saling debat,
saling tuding dan saling maki dan sudah mengarah saling balas dendam dan
menggunakan hukum kekuasaan negara mengkriminalisasi. Sungguh
mengerikan
padahal kita tumbuh dari bangsa yang beradat dan berbudi luhur.
Berbudi yang
luhur adalah ciri kita bangsa Indonesia yang dikenal oleh
bangsa-bangsa lain oleh karenanya dasar negara kita Pancasila menyatukan
nusantara yang adat istiadatnya banyak kesamaannya. Berbeda-beda kita
satu Bhinneka Tunggal Ika. Budi luhur itulah kita mencegah dan anti
pada tidakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan.
Saya teringat di
kampung adat saya di Kalimantan Tengah, masyarakat adat Lawangan kalau
kita nakal
sampai dimarahi kakek, nenek atau tua-tua kampung. Akibat kenakalan
kami
sambil dimarahi, dikatakan tidak tahu adat. Berhari-hari dan berminggu
minggu jadi polemik sebelum kita minta ampun dan minta maaf dan di rumah
pun, orang tua terbeban dan kami biasanya disuruh minta maaf baru
tenang. Itu contoh-contoh pelanggaran kecil dan anak dari situlah kami
tumbuh di dalam
masyarakataAdat
Dewasa pun, banyak hukum adat yang mencegah perbuatan
jahat, adà kebiasaan adat, apabila
tamu alias bukan orang serumah atau bukan muhrimnya atau tetangga mau
ke salah satu rumah, harus memanggil bertanya dari luar ada siapa di rumah
ada berapa orang di dalam rumah. Ini berlaku bagi tamu berlawanan jenis apabila
hanya ada seorang laki-laki atau seorang perempuan otomatis adat tidak
memperkenankan.
Apabila dilanggar bisa dihukum adat, ada 2 orang
berlawanan jenis dalam rumah bisa ditangkap tangan atau dibawa barang
bukti 2 orang tersebut sandal atau apa saja dilaporkan ke kepala adat akan
dikawinkan.
"Batamput" kawin
paksa, kalau pelaku sudah bersuami atau beristeri, ditambah hukum denda
adat berupa gong guci dan lain-lain, dasar keputusan
sidang adat. Bahkan sampai ke pelanggaran-pelanggaran adat berat.
Hukumnya denda
adat
dan diusir keluar dari kampung oleh karenanya kami masyarakat adat taat
hukum, karena di masyarakat adat berlaku Hukum Adat, di masa modern ini
oleh karenanya apa kata kepala negara sudah krisis
moral etika berbangsa bernegara sangat perlu dan mendesak pelajaran
Budi Pekerti digali kembali dan Hukum Adat digali dan dihidupkan
kembali dalam Perda.
Saya mendukung
penuh kepala-kepala adat Purwakarta Jawa Tengah yang akan menghidupkan
Perda Hukum Adat Kawin Paksa bagi
pasangan yang berpasangan dalam satu rumah dalam satu ruangan di atas
pukul 21.00., baiknya di siang hari juga apabila dalam satu ruangan
berduaan
bukan muhrimnya bukan anggota dalam rumah yang tertera pada KK.
Apabila
Hukum Adat diterapkan akan mencegah dan mengurangi beban pemerintah,
karena Hukum Adat yang akan diperdakan di Purwakarta sama
dengan Hukum Adat di kampung adat saya. Dan kalau adat hukum adat
diangkat semua ada aturan pemeliharaan alam pelihara sungai dan
pemeliharaan hutan dan menghormati orang tua, dan bagaimana
bertetangga dan bagaimana berderma saling tolong menolong, bergotong
royong.
Bagaimana takut dan taat adat dan ada sanksi mistis, perlu dipikirkan
untuk muncul budaya adat dan budaya malu. Jangan budaya malu-maluin serakah
dan takut miskin itulah koruptor takut miskin juga bisa dikategorikan
orang tidak percaya Tuhan dan tidak beradat, makanya aji mumpung ada
jabatan dan kesempatan korupsi uang negara. Begitu ketangkap nyogok
Hakim, Jaksa, Pengacara untuk lolos dari jeratan hukum, hancurlah tatanan
dan kewibawaan hukum di negeri ini karena kekuasaan uang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar