MENGAPA pendidikan formal yang tengah berjalan saat ini disebut sebagai sebuah penyesatan bagi anak-anak didik kita? Apa yang salah dengan pendidikan kita? Apa yang akan terjadi pada anak didik setelah melalui pendidikan yang menyesatkan?
We don’t need now education
We don’t need now thought control
No dark sarcasm in the classroom
Hey, teachers, leave those kids alone…..
NUKILAN lirik lagu di atas berjudul Brick in the Wall yang diciptakan Pink Floyd, sebuah grup band super asal Inggris, di tahun 1975. Lagu yang tergabung dalam album The Wall ini meledak di pasaran dan merupakan gambaran terjadinya perubahan dalam memaknai pendidikan yang sudah dikenal di Eropa dan Amerika Utara sejak sebelum Perang Dunia II. Perubahan radikal dalam konsep pendidikan ini menggerakkan negara-negara maju untuk mengembangkan pendidikan menjadi lebih tidak terbatas dan menampilkan pergeseran gaya hidup dari era industrialisasi menjadi era pasca industrialisasi.
Sehebat itukah pengaruh sebuah lagu sehingga dapat menggerakkan Presiden John F. Kennedy menata ulang format dan struktur pendidikan di Amerika Serikat? Tentu saja tidak. Pink Floyd secara cerdas menerjemahkan obsesi para pemikir pendidikan seperti Ivan Illich, Paulo Freira dan kawan-kawan ke dalam bentuk yang lebih populer namun menghunjam tepat di jantung perubahan, anak-anak muda itu 30 tahun yang lalu, sebuah rezim pendidikan yang berpihak pada proses dehumanisasi telah ditumbangkan. Di Indonesia, gaya pendidikan yang sudah ditumbangkan itu, malah menjadi pedoman mutlak bagi seluruh unsur-unsur pendidikan di Indonesia.
Lalu, seperti apakah rezim pendidikan yang telah ditumbangkan oleh masyarakat maju 30 tahun silam tersebut?
Di dalam bukunya, The Third Wave, Alvin Toffler menyebutkan bahwa premis dasar terbentuknya gaya pendidikan di Eropa dan Amerika berubah sejak Revolusi Industri. Revolusi Industri melahirkan sebuah gaya hidup yang khas, yaitu umat manusia dipaksa untuk melayani mesin. Ketika semua enerji dan aset bumi ini dikerahkan untuk kepentingan mesin-mesin tekstil, mesin uap dan mesin-mesin lainnya, pendidikan pun diarahkan untuk melayani kebutuhan industri.
Para tenaga terdidik menjadi bagian tak terpisahkan dari lajunya gerakan industrialisasi di segala bidang. Mengingat bahwa pekerjaan di dunia industri pada dasarnya adalah pekerjaan yang sederhana, efisien, rutin namun sangat tidak manusiawi, karena sifatnya yang menjadi pelayan mesin, membuat dunia pendidikan hanya menyiapkan tenaga terdidik yang juga sederhana, terampil, patuh, dengan sikap dan perilaku yang seragam. Hal itu berlangsung cukup lama, bahkan kondisi tersebut dipertajam oleh terjadinya Perang Dunia II yang secara sistematik menempatkan seluruh sumber daya manusia sebagai pelayan mesin perang!
Pengaruh psikologi massa dari sistem pendidikan yang menempatkan manusia sebagai robot yang seragam mengakibatkan umat manusia menjadi penuh tekanan sehingga meningkatkan agresivitas secara massal. Sebagian ahli psikologi percaya bahwa Perang Duinia II merupakan titik kulminasi dari situasi manusia di dunia yang tertekan oleh gaya hidup industrialisme. Tekanan ini memicu lahirnya generasi bunga di San Fransisco dan hal ini dipercaya mendongkrak popularitas narkotik dan obat-obatan psikotropika. Industrialisasi, dengan demikian, dipercaya menjadi agen dari proses dehumanisasi dan keruntuhan agama-agama di Eropa dan Amerika. Sampai pada akhirnya di awal tahun 1970, masyarakat dunia tersadar bahwa pendidikan tidak seharusnya menjadi alat dunia industri untuk menempatkan manusia menjadi robot pelayan mesin, namun menjadi pelaku utama perubahan dan menempatkan dunia industri pada proporsinya untuk membantu manusia dalam meraih posisinya sebagai makhluk termulia di dunia.
Sejak saat itu, di negara-negara maju, telah lahir sebuah era yang dinamakan era pasca industri, era informasi atau era post modern.
Industrialisasi dipercaya menggerogoti intuisi-intuisi manusiawi. Industrialisasi juga yang mengakibatkan timbulnya ideologi-ideologi besar di saat ini, yaitu kapitalisme dan komunisme. Kapitalisme didukung oleh para pemegang modal dan pemilik pabrik sedangkan komunisme diamini oleh para buruh dan pekerja yang tidak pernah beranjak nasibnya sebagai pelayan para majikan. Pemahaman mendalam mengenai industrialisasi sebagai sebuah epistemologi dari semua gejala yang tampil di masa ini memperlihatkan bahwa ketercabikan peran dan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini mengakibatkan munculnya persoalan yang tiada habisnya dan secara sistematik menempatkan manusia industri terus mengalami pemiskinan terstruktur di segala bidang.
Celakanya, di Indonesia, industrialisasi masih dianggap dewa yang mampu menyelamatkan penduduknya dari kemiskinan duniawi. Kepercayaan yang begitu tinggi terhadap peran industrialisasi sebagai cara menyejahterakan rakyat Indonesia, diikuti secara telak dan dogmatik oleh para stakeholder pendidikannya. Ketika industrialisasi dianggap sebagai sumber malapetaka bagi negara-negara maju, Indonesia bahkan menempatkan industrialisasi sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan dalam bidang pendidikan.
Kepercayaan buta para stakeholder pendidikan terhadap industrialisasi sebagai orientasi pendidikan sudah sepatutnya dipertanyakan. Sudah diperlukan wacana bahkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan untuk mengubah paradigma yang selama ini sudah ketinggalan jaman. Diperlukan paradigma baru dalam menyiapkan peserta didik tidak lagi sebagai pelayan industri, melainkan sebagai manusia yang kreatif, mandiri, yang mengendalikan perubahan dan mengenal dirnya sendiri. 30 tahun bukan waktu yang lama untuk dikejar. Masyarakat negara maju lebih mempercayai pendidikan yang berorientasi pengembangan tak terbatas dari peserta didiknya. Hasilnya adalah kemampuan para lulusannya dalam mengendalikan dan mengembangkan penemuan-penemuan baru, tidak lagi mengekor pada kepatuhan buta sebuah era lama.
Ketika dunia Industri Indonesia hanya mampu menyerap sekitar 3 juta calon pekerja di tahun 2007, sekolah-sekolah di Indonesia sudah menyiapkan 14 juta calon robot pelayan mesin di tahun yang sama. Kumulasi selama 10 tahun saja akan menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia berhasil menciptakan 100 juta alien yang tercerabut dari sumber kehidupan sesungguhnya berupa lahan-lahan subur dan laut yang luas dan kaya.
Jika hal ini belum dianggap sebuah krisis di bidang pendidikan, entah apa lagi namanya!
(raga affandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar